Bale-bale pun menjadi sandaran hidup. Beginilah gambaran tukang parkir serep di kota Makassar. Jika tukang parkir asli masih semangat mencari nafkah mengatur kendaraan yang terparkir maka sebagai tukang parkir serep ya terpaksa "diam".
Maun pulang? akan menjadi stress saja karena hanya bisa melihat dinding rumah, istri mencuci piring yang sebenarnya sudah bersih.Anak-anak bermain dari sisa-sisa permainan anak-anak berduit. Jadi tiada jalan lain, menunggu sambil tidur di bale-bale depan emperan kota. Wajah masyarakat miskin kota. Entah Makassar ini benar-benar sudah mulai kejam terhadap warganya atau memang warganya masih malas-malasan mencari pekerjaan lain.
Tukang parkir asli maksudku yang terdaftar di Pemkot Makassar kadang mendapat Rp. 30 ribu sehari. Ini sudah bersih di bawa pulang ke rumah. Membeli beras,gula, ikan dan makanan bagi anak-anak atau keluarga. Tapi bagaimana dengan tukang parkir serep?Namanya saja serep atau orang kedua. Tak pernah terbayangkan mereka bakal mendapat Rp. 30 ribu perhari. Bagi mereka, makan saja sudah cukup.
Ngobrol dengan tukang parkir seperti ini seolah menjadi rakyat yang sebenarnya. Apalagi jika sudah melihat orang-orang yang memikirkan nasib bangsa dan dirinya ngopi di warkop,makan di restoran. Ah, bagai melihat langit dan bumi dari jarak dekat.
Saya baru saja ngobrol dengan sejumlah teman. Mereka ngobrol panjang tentang pekerjaan,tentang kejenuhan. Ada perasaan frustasi. Tapi sekali lagi, dunia memang berputar. Entah esok hari sang tukang parkir seperti ini akan menemukan nasib yang baik sehingga kehidupannya berubah. Sebab jika dari rakyat menjadi "orang" maka keindahan dunia akan sangat terasa.
****editor4no11/07/07***
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda