Langitku di Makassar

Blog ini berceritra dibalik sebuah peristiwa,keajaiban kehidupan yang kulalui selama hidupku..Ada saja hal yang terselip pada sebuah kehidupan..maka kutulislah dalam sebuah karangan kehidupan..juga ada kisah hati..selamat membaca....

Rabu, 18 Juli 2007

Jangan Bersedih Bagi yang Gagal Sekolah

Sudah tiga hari ini pelajar mulai masuk sekolah. Sampai sekarang mulai dari TK,SD hingga SLTA masih menggelar MOS atau pengenalan sekolah mereka yang baru. Khusus bagi anak-anak kelas satu. Dan sudah tiga hari ini pula saya harus bangun pagi-pagi mengantar anak tertua saya Siti Alifah A Zahdiyah ke sekolahnya SD Al Azhar Makassar.

Sungguh indah dan lucu mendengar ceritanya baik saat mengantarnya sekolah maupun saat pulang ke rumah. Katanya sudah diajar Bahasa Inggris,musik. "Bapak, saya yang paling tinggi di sekolahku. Makanya saya disuruh berdiri paling depan trus disuruh pake dasi", ceritanya ketika pertamakali sekolah di SD tersebut. Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya. kalau melanjutkan pertanyaan maka alifah akan bercerita panjang lebar tentang pengalamannya di sekolah. Foto yang terpasang ini ketika Alifah bersama teman-temanku wartawan di Makassar saat pulang dari sekolah. Entah karena kelincahannya selama ini atau memang pola pikirnya telah berubah, maka dengan mudah Alifah mulai memetik gitar milik seorang pengamen di warkop Dg Anaz Jalan Pelita Raya


Menikmati bersama alifah pergi dan pulang sekolah memang sangat lucu dan saya bisa mengetahui betapa banyaknya perbedaan dengan sekolah-sekolah dasar negeri lainnya di negeri ini. Tentu dengan apa yang kurasakan dan melihat selama ini ketika aku liputan. Ada rasa aman ketika mengantar anak ini ke sekolahnya karena aturan yang diterapkan oleh sekolah tersebut.


Siang tadi, saya sempat ngobrol dengan sejumlah ibu-ibu dari desa nelayan di kota Makassar. Cerita pendidikan yang ditempuh oleh Alifah sangat jauh berbeda dengan kondisi anak-anak mereka. Bukan hanya itu. Puluhan anak-anak mereka terpaksa tidak mengenyam pendidikan atau gagal melanjutkan sekolah lantaran tidak punya biaya. Walaupun mereka dinyatakan lolos di sekolah dasar negeri. Kalau toh sekolah, tapi pendidikan yang mereka capai tidak memuaskan atau tidak maksimal. Bayangkan saja, guru di sekolah lokasi mereka adalah rata-rata guru kontrak atau honor. Itupun hanya tiga guru. "Kalau kontrak kan seenaknya saja datang mengajar". ujar Ibu jamrut warga desa nelayan.


Ahh...saya lalu kembali memikirkan dan menghayalkan sekolah Alifah. Ada perang bathin mendengar cerita tersebut.Bagaimana mungkin saya menceritakan ke mereka kondisi sekolah anak saya sementara kondisi anak mereka sungguh sangat memiriskan hati?Tapi bagaimana juga saya harus melihat masa depan alifah kalau harus bersekolah di tempat yang tidak jelas? Yah..kata Wapres Jusuf Kalla, pendidikan memang mahal. Tapi kalau kondisi masyarakat kita masih di bawah standar kemiskinan lalu system pendidikan kita masuh amburadul? bagaimana bisa rakyat Indonesia menikmati pendidikan yang layak?. Kata temanku seorang wartawan The Jakarta Post, pendidikan yang layak hanya buat orang kaya saja. Tapi orang sekelas saya, yang tidak kaya tentu harus memaksakan diri untuk menyekolahkan Alifah ke sekolah yang taraf pendidikannya jelas. Saya tidak akan mengulangi kesalahan yang diterapkan orang tuaku dulu saat mendidik anak-anaknya. Kini Alifah akan menikmati sekolah itu. Ya..semoga saja mereka yang sekolah di lembaga pendidikan yang berkualitas kelak nanti mengubah system pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Mungkin bukan hari ini, tapi puluhan tahun mendatang. Amerika Serikat berubah tidak semudah membalikan telapak tangan, tapi setelah negara itu merdeka selama 400 tahun. Butuh sebuah proses.


***editor4no18/07/07***


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda