Mengeroyok Uang 50 Ribu
Suatu hari ketika usiaku masih remaja.Ya..kira-kira lima belasan tahun yang lalu. Kini usiaku melewati satu strip 30-an tahun. Di sebuah kampung halamanku Siwa kabupaten Wajo, orang Bugis-Makassar menyebutnya kampung cengkeh. Tapi itu dulu, ketika BPPC tidak bermasalah.Ketika Tommy Suharto tidak mencampuri urusan tata niaga cengkeh. Hampir setiap pekan, saya bersama saudara-saudaraku dan teman sekampung ke kebun cengkeh yang cukup nun jauh di atas bukit.Kemudian di bawah mengalir sungai deras, airnya sangat jernih dan kami berenang ketika sore hari. Badan kami beraroma cengkeh.Sekali lagi, itu dulu.
Saat saya memetik cengkeh menggunakan tangga yang cukup tinggi. Kira-kira delapan meter. Di sampingku seorang ibu-ibu yang menjadi pekerja pemetik cengkeh di kebunku. Ibuku ngobrol panjang dengannya. Kudengar ibuku bertanya "anakmu yang di Ujungpandang (red. sekarang Makassar) sudah kerja". "Sudahmi bu'".sambil memetik satu persatu cengkeh. 'Kerja di mana" kata ibuku. Spontan pekerja cengkeh itu menjawab "jadi guru". katanya.
Ya..jadi guru. Aku yang mendengar pun kaget.Soalnya, yang kudapat kabar tentang kabar anak si ibu tadi kerja sebagai buruh. Entah si ibu itu bohong. Tapi dua hari kemudian,rupanya sang orang tua buruh itu menganggap antara guru dan buruh adalah sama. Sekali lagi, pendidikan di kampung-kampung sungguh sangat rendah.
Cerita ini kuungkit kembali dalam alam pikiranku pada hari minggu kemarin. Ketika saya menunggu korban kapal tenggelam di pulau Liukkang Pangkep, di hadapanku lalu lalang buruh pelabuhan. Menggunakan pakaian hijau-hijau, di bawah terik panas matahari sang buruh tak kenal lelah mencari uang. "Ramai kalau hari sabtu dan minggu pak"cerita seorang buruh lalu lari menghampiri sebuah mobil taxi yang membawa penumpang. Pekerjaan mengejar barang ini dilakukan setiap saat. Jika barang penumpang jumlahnya lebih dari sepuluh koli, maka biasanya penumpang tersebut menbayar Rp. 50 ribu. "Dari pada angkat sendiri pak naik di atas kapal.Keamanannya tidak terjamin. Bisa hilang di kapal, atau di sini".katanya serius. Tapi bukan berarti satu buruh penumpang harus membayar Rp. 50 ribu ke setiap buruh. Kadang sepuluh buruh mengeroyok barang penumpang tersebut lalu membagi hasil yang Rp. 50 ribu tadi. "Tidak ada yang marah" tanyaku?.
"Kita saling mengerti pak.Jadi siapa saja yang mau.Kalau barangnya sedikit kan masa harus sepuluh buruh yang angkut" ujarnya sambil menertawai rekannya yang nyaris jatuh mengejar sebuah mobil taxi. Cerita buruh mendapat penghasilan lebih besar ketimbang sekarang juga menjadi cerita lama. Itu dulu. Ketika maskapai penerbang tidak melego turun harga tiket. Sekarang dalam seminggu, buruh harian ini kadang pulang membawa uang sekitar tujuh puluh ribu ke rumahnya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda