Bekerja di media yang jauh dari kantor pusat rupanya menguntungkan juga bagi pemilik warung kopi di Makassar. Banyak manpaatnya memang jika bergaul dengan wartawan. Dan sangat banyak pihak yang hendak bergaul dengan wartawan tapi mereka kesulitan menghadapi para pengedar berita ini. Tapi tidak bagi pemilik warung kopi Dg Anaz yang berlokasi di Jalan Pelita Raya Makassar.
Sejak setahun terakhir ini, mahluk manusia yang namanya wartawan nyaris menjadikan warkop tersebut sebagai kantornya. Bayangkan saja, jika sudah mulai jam 09.00 wita satu persatu sambil menggunakan moto,r wartawan dari berbagai media ini bermunculan. Ada yang Nampak baru mandi, adapula yang kelihatan belum mandi. “Tergantung di mana kita menginap.Kalau di rumahnya teman atau di jalan ya apa boleh buat.nanti sore saja baru saya mandi” cerita MN Fajar wartawan Fajar Tivi. Lain lagi cerita koresponden Jurnalis Indonesia, Djarot Jasmin. Wartawan yang baru mendaftar sebagai anggota AJI ini, memang punya rumah yang cukup jauh dari Makassar, tepatnya di Kabupaten Gowa Sulawesi-Selatan. Meski setiap malam harus begadang bersama wartawan muda lainnya di Makassar, tapi ia selalu menyempatkan bersih-bersih untuk memulai aktivitasnya. Kadang jam 08.00 Wita, Djarot sudah memesan kopi susu satu sloki.
Jadi untuk menemui wartawan di Makassar, sangat tidak sulit. Coba saja datang ke Warkop Anas, maka anda akan melihat berbagai raut dan penampilan yang duduk di luar warkop tersebut. Di lokasi inilah, sejumlah peristiwa dan berita digodok oleh wartawan-wartawan ini. Mulai isu local hingga isu nasional. Boleh dikatakan, suasana pada pagi hari layaknya rapat redaksi gadungan yang dilakukan oleh wartawan-wartawan ini. Ada yang datang dengan isu local, adapula yang langsung membawa informasi liputan.
Tapi tidak semua informasi yang mereka dapatkan langsung mereka liput. Sebelumnya, ada yang menggodok di meja lain dan adapula yang berusaha meyakinkan bahwa informasi tersebut layak untuk dijadikan berita. Jika ada yang tertarik, maka mereka saling boncengan ke lokasi tersebut untuk meliputnya. Dan jika ada yang tidak tertarik maka mereka hanya duduk sambil melanjutkan ceritanya di warkop Dg anaz. Di warkop ini tak ada istilah pimpinan redaksi, redaktur atau boz. Bahkan media pun semuanya sama. Seperti laiknya para koresponden, mereka semua adalah peliput atau reporter yang bertugas meliput di lapangan. Bertindak sebagai editor,redaktur hingga reporter “Ya inilah koresponden”, cerita Gunawan, wartawan detik.com.
Para narasumber juga kadang-kadang datang di lokasi ini untuk menggelar konfrensi pers. Bahkan ada yang membawa undangan liputan. Mereka hanya simpan di dinding warkop.Karena wartawan ini sudah paham, jika ada undangan buat mereka, tak perlu cari jauh-jauh. Di tempat ini, juga sekaligus wartawan menggodok peristiwa,memunculkan atau menciptakan berita hingga menjadikan tempat konsultan media. Tapi gratis, karena wartawan yang kumpul di warkop ini, “lebih baik mengutang ketimbang diberi uang atau dibayarkan oleh narasumber” ungkap Yussrank Uccang fotografer kantor berita Antara. Jadi praktis, Makassar tak pernah kesepian akan berita. Ada-ada saja peristiwa yang keunikan yang terjadi di kota ini. Beruntung sekali, karena hamper semua wartawan di Makassar mempunya jaringan yang cukup luas dan aktivis pada sejumlah lembaga di Sulawesi-Selatan. “Untuk meminta warga aksi dan mahasiswa unjuk rasa oooo…sangat mudah. Mereka kan teman-teman kita semua”, cerita Asrul, wartawan Global Tv.
Nyaris setiap hari, wartawanlah yang memadati warkop ini. Bukan saja karena kopinya murah, tapi lokasi ini memang terbilang cukup strategis. Bahkan bisa ngutang sekalipun. “Saya kadang minum kopi, makan kue tapi bayarnya dua hari kemudian.Bahkan kadang pula saya lupa.Untunglah pemiliknya baik” cerita Rizal Randa, koresponden SCTV di Makassar. Bukan hanya itu. Jika minum kopi, dan tiba-tiba ada liputan maka kita tak perlu buru-buru bayar, Bisa pulang dari liputan barulah kemudian di bayar.
Manpaat berkumpulnya bagi wartawan di Warkop ini bukan hanya bertujuan membagi berita,kordinasi liputan. Yang paling menguntungkan karena penempaan mental bagi wartawan juga kerapkali terjadi. Mulai dari saling mengerjai, membagi pengalaman hingga mendiskusikan angle berita. Jadi nyaris, persoalan yang mengemuka dalam satu liputan di Makassar hamper sama dengan liputan media-media lainnya “Kita harus mempunyai visi yang sama. Bahwa jurnalis adalah lidah bagi rakyat”..
****editor4no5/7/7****